rakyatnusantara.net | Jembrana - Pura Tirtha Lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi merupakan salah satu dari 9 (sembilan) Pura di kawasan Pura Rambutsiwi yang terletak di Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali.
Pemangku di Pura Tirtha Lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi, Jro Mangku Suardana menjelaskan dimana manifetasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) yang distanakan atau dipuja di Pura ini adalah Dewa Siwa Gangga sebagai Dewa dari segala sumber Air Suci (Tirtha) dan Dewa Bharuna sebagai Dewa penguasa lautan.
Pura ini terbagi atas tiga halaman (tri mandala), yakni :
Pertama adalah halaman Utama disebut Utama Mandala, adalah berada dalam goa yang kira-kira lokasinya tepat di bawah Pura Luhur Dangkahyangan Rambutsiwi terdapat alur goa seperti sebuah perempatan (Catus Pata) yang masing-masing alurnya laksana tanpa batas karena hingga saat ini tidak ada seorangpun yang mengetahui ujung atau akhir dari masing-masing alur goa ini. Namun, secara alam Niskala (gaibnya) umat meyakini bahwa alur goa yang mengarah ke Timur Laut berujung ke Pura Besakih di Gunung Agung, itu sebabnya keberadaan Pura Luhur Dangkahyangan Rambutsiwi juga dipercayai sebagai penghayatan ke Pura Besakih,
sedangkan alur goa yang mengarah ke Barat Laut diyakini berujung ke Pura Melanting di Pulaki sehingga di Pura Dangkahyangan Rambutsiwi juga ada pengayatan Pura Melanting dan alur goa yang mengarah ke Tenggara diyakini berujung ke Pura Dalem Ped di Nusa Penida sehingga di Pura Dangkahyangan Rambutsiwi ada pengayatan Pura Dalem Ped, sementara alur goa yang mengarah ke Barat Daya sebagai ke pintu keluar goa yang mengarah ke Laut (Segara) diyakini umat sebagai pengayatan ke setiap pura yang ada di luar pulau Bali seperti Pura Blambangan, Pura Alas Purwa, Pura Semeru Agung dan seterusnya.
Kedua, halaman Tengah disebut Madya Mandala, dimana pada halaman ini terdapat beberapa Palinggih dan Archa, diantaranya sebuah palinggih Piasan adalah difungsikan sebagai stana Pralingga dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) dalam berbagai manifestasi. Dua buah palinggih diantaranya 1 buah Padmasana sebagai stana pemujaan Ida Bhatara dalam manifestasi tertinggi ialah Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan 1 buah Padmasari sebagai stana Dewa Siwa Gangga. Sebuah Gunung Rata difungsikan sebagai tempat Bebanten (sarana Sembahyanga).
Kedua, halaman Tengah disebut Madya Mandala, dimana pada halaman ini terdapat beberapa Palinggih dan Archa, diantaranya sebuah palinggih Piasan adalah difungsikan sebagai stana Pralingga dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) dalam berbagai manifestasi. Dua buah palinggih diantaranya 1 buah Padmasana sebagai stana pemujaan Ida Bhatara dalam manifestasi tertinggi ialah Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan 1 buah Padmasari sebagai stana Dewa Siwa Gangga. Sebuah Gunung Rata difungsikan sebagai tempat Bebanten (sarana Sembahyanga).
Selanjutnya keberadaan dua buah Archa diantaranya, Archa Ida Pedanda Wawu Rawuh dan Archa Ida Pedanda Istri Sri Patni Kaniten ialah Sakti dari Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh, guna mengenangkan jasa-jasa suci beliau sebagai cikal bakal penyempurnaan Pura Dangkahyangan Rambutsiwi. Archa naga cobra berkepala tiga sebagai simbol bahwa kesatuan semesta ini sesungguhnya terbagi atas tiga tingkatan alam disebut Tri Loka, yakni alam Bhur Loka adalah alam para Bhuta Kala, alam Bwah Loka adalah alam Manusia, Hewan serta Tumbuhan (Bumi) dan alam Swah merupakan alam para Dewa sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Wdhi Wasa. Archa naga cobra berkepala tiga ini juga merupakan simbul naga Basuki digunakan menjadi alas archa Dewa Siwa Ganga Murti yang merupakan simbol Dewa sebagai sumber segala Air Suci saat beryoga dan memberikan anugerah.
Sepasang Lingga Yoni merupakan simbul Dewa Siwa dan Dewi Sakti sebagai lambang cikal bakal kehidupan bersumber dari Rwa Bhineda (Perdhana-Purusha atau Kiwa-Tengen) adalah merupakan kekuatan keseimbangan berlakunya hukum alam. Sebuah taman Maha Tirtha sebagai tempat keluarnya Air Suci (Tirtha) yang nerupakan anugrah dari Dewa Siwa Gangga Murti untuk dioergunakan dalam berbagai keperluan sepiritual dan kehidupan. Dua buah Archa Macan yakni macan Petak (Putih) dan macan Gading (Orange) merupakan simbul Ancangan (Pengawal jelmaan Ratu Nyoman Sakti Pengadang-Adang). Balai Pengastawa adalah berfungsi sebagai tempat Pemangku dalam memimpin persembahyangan umat.
Ketiga adalah halaman Luar disebut Pratama Mandala, terdapat sebuah Palinggih berupa Padma sebagai pengayatan ke Daleming Segara (Laut) atau Dewa Bharuna dan Bale Pesandekan.
Seperti apa yang tersurat dalam kutipan sastra tua yakni Dwijendra Tattwa yang digunakan sebagai salah satu Purana dari Pura Dangkahyangan Rambutsiwi, dijelaskan dimana kala itu warga sekitar setelah mengetahui informasi tentang keberadaan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh yang memiliki kemampuan sepiritual sangat tinggi berada di kawasan yang sekarang ini bernama Pura Dangkahyangan Rambutsiwi, membuat seluruh warga datang menghadap sang Pendeta untuk memohon bimbingan sepiritual, ada pula yang memohon kesembuhan, anugerah kesejahteraan, dan sebagainya hingga ketika itu Sang Pendeta berkenan menunda keberangkatannya dalam melasanakan perjalanan suci (napak tilas) untuk menjelajahi alam Bali sekira abad ke-14 atas seiijin Dalem (Raja). Disini Sang Pendeta memberikan bimbingn kepada seluruh warga yang datang dan memohon untuk memperdalam tuntunan agama terutama ajaran bhakti kepada Ida Sang Hyang Parama Kawi (pencipta alam semesta), kepada Dewa-Dewi atau Bhatara-Bhatari sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Parama Kawi, juga bhakti kepada Leluhur, termasuk memberikan tuntunan ajaran kerohanian Hakekat Lingga Aksara, pertanian, perkebunan, peternakan, pertukangan dan sebagainya agar memperoleh kedamaian, keselamatan serta kesejahteraan hidup secara lahir maupun bhatin, juga tuntunan mengharmonisasi unsur-unsur gaib (tak kasap mata) agar kekuatannya tidak menjadi jahat tetapi justru dapat melindungi hidup manusia. Setelah seluruh warga tercerahkan, saat pagi hari ketika sang surya (matahari) mulai memancarkan cahayanya ke seluruh persadha, seusai melaksanakan sembahyang (Surya Sewana), sang Pendeta kemudian memercikkan Tirtha yang dibuat dari sumber air yang mengalir dari salah satu goa yang ada di kawasan tersebut dan tanpa pernah mengering walau dikala musim kemarau sekalipun (sekarang Pura Tirtha).
"Legenda inilah yang mendasari hingga sekarang di Pura ini diyakini sebagai tempat bertapa (payogaan) dari Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh serta keberadaan air bersumber dari dalam goa yang ada di Pura Tirtha Lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi dan terus mengalir tanpa pernah mengering walau di saat musim kemarau sekalipun, hingga kini juga dipercayai sebagai tempat memohon Air Suci (Tirtha) yang diperuntukkan dapat digunakan dalam berbagai keperluan kehidupan sepiritual. Hingga setiap saat terutama rahinan (hari suci) atau ketika pujawali (piodalan) yang jatuh enam bulan sekali tepatnya tiap hari Rabu Umanis wuku Perangbakat seluruh umat Hindu bahkan dari luar Bali pedek tangkil datang) untuk bersembahyang serta memohon anugrah juga mukjizat dari Tirtha Siwa Gangga ini misal digunakan sebagai Titrha untuk Pangelukatan, Tirtha Pasupati, Tirtha untuk memohon Penyembuhan, Keturunan, Peleburan Desti, Panyibeh, dan sebagainya", jelas Jro Mangku Suar.
Sementara salah seorang Pamedek, Ni Komang Sugiantari (35) asal Jembrana menerangkan dimana keluarganya dulu pernah sakit. "Saat itu mertua perempuan saya menderita sakit seperti kelumpuhan dan anak saya ada benjolan di bagian kaki. Saya sudah berupaya mengantar berobat baik secara medis maupun sepiritualis namun juga tidak kunjung sembuh dan astungkara sekarang sudah pulih kembali atas kekekuasaan Hyang Widhi setelah memohon Tamba Pasupati dan Malukat di Pura Tirtha Lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi", jelasnya.
Sedangkan pemedek lainnya bahkan umat dari Manca Negara banyak yang bersembahyang serta menghaturkan suksma (ucapan terima kasih) karena doa mereka terkabulkan setelah memohon anugerah berbagai hal atas kemulyaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui Pura Dangkahyangan Rambutsiwi.
(AGus)
Ketiga adalah halaman Luar disebut Pratama Mandala, terdapat sebuah Palinggih berupa Padma sebagai pengayatan ke Daleming Segara (Laut) atau Dewa Bharuna dan Bale Pesandekan.
Seperti apa yang tersurat dalam kutipan sastra tua yakni Dwijendra Tattwa yang digunakan sebagai salah satu Purana dari Pura Dangkahyangan Rambutsiwi, dijelaskan dimana kala itu warga sekitar setelah mengetahui informasi tentang keberadaan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh yang memiliki kemampuan sepiritual sangat tinggi berada di kawasan yang sekarang ini bernama Pura Dangkahyangan Rambutsiwi, membuat seluruh warga datang menghadap sang Pendeta untuk memohon bimbingan sepiritual, ada pula yang memohon kesembuhan, anugerah kesejahteraan, dan sebagainya hingga ketika itu Sang Pendeta berkenan menunda keberangkatannya dalam melasanakan perjalanan suci (napak tilas) untuk menjelajahi alam Bali sekira abad ke-14 atas seiijin Dalem (Raja). Disini Sang Pendeta memberikan bimbingn kepada seluruh warga yang datang dan memohon untuk memperdalam tuntunan agama terutama ajaran bhakti kepada Ida Sang Hyang Parama Kawi (pencipta alam semesta), kepada Dewa-Dewi atau Bhatara-Bhatari sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Parama Kawi, juga bhakti kepada Leluhur, termasuk memberikan tuntunan ajaran kerohanian Hakekat Lingga Aksara, pertanian, perkebunan, peternakan, pertukangan dan sebagainya agar memperoleh kedamaian, keselamatan serta kesejahteraan hidup secara lahir maupun bhatin, juga tuntunan mengharmonisasi unsur-unsur gaib (tak kasap mata) agar kekuatannya tidak menjadi jahat tetapi justru dapat melindungi hidup manusia. Setelah seluruh warga tercerahkan, saat pagi hari ketika sang surya (matahari) mulai memancarkan cahayanya ke seluruh persadha, seusai melaksanakan sembahyang (Surya Sewana), sang Pendeta kemudian memercikkan Tirtha yang dibuat dari sumber air yang mengalir dari salah satu goa yang ada di kawasan tersebut dan tanpa pernah mengering walau dikala musim kemarau sekalipun (sekarang Pura Tirtha).
"Legenda inilah yang mendasari hingga sekarang di Pura ini diyakini sebagai tempat bertapa (payogaan) dari Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh serta keberadaan air bersumber dari dalam goa yang ada di Pura Tirtha Lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi dan terus mengalir tanpa pernah mengering walau di saat musim kemarau sekalipun, hingga kini juga dipercayai sebagai tempat memohon Air Suci (Tirtha) yang diperuntukkan dapat digunakan dalam berbagai keperluan kehidupan sepiritual. Hingga setiap saat terutama rahinan (hari suci) atau ketika pujawali (piodalan) yang jatuh enam bulan sekali tepatnya tiap hari Rabu Umanis wuku Perangbakat seluruh umat Hindu bahkan dari luar Bali pedek tangkil datang) untuk bersembahyang serta memohon anugrah juga mukjizat dari Tirtha Siwa Gangga ini misal digunakan sebagai Titrha untuk Pangelukatan, Tirtha Pasupati, Tirtha untuk memohon Penyembuhan, Keturunan, Peleburan Desti, Panyibeh, dan sebagainya", jelas Jro Mangku Suar.
Sementara salah seorang Pamedek, Ni Komang Sugiantari (35) asal Jembrana menerangkan dimana keluarganya dulu pernah sakit. "Saat itu mertua perempuan saya menderita sakit seperti kelumpuhan dan anak saya ada benjolan di bagian kaki. Saya sudah berupaya mengantar berobat baik secara medis maupun sepiritualis namun juga tidak kunjung sembuh dan astungkara sekarang sudah pulih kembali atas kekekuasaan Hyang Widhi setelah memohon Tamba Pasupati dan Malukat di Pura Tirtha Lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi", jelasnya.
Sedangkan pemedek lainnya bahkan umat dari Manca Negara banyak yang bersembahyang serta menghaturkan suksma (ucapan terima kasih) karena doa mereka terkabulkan setelah memohon anugerah berbagai hal atas kemulyaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui Pura Dangkahyangan Rambutsiwi.
(AGus)
Posting Komentar